Handheld dan Darah Islam dalam Humanisme Mistis Skandinavia.....
Di tengah hamparan pemandangan alam Norwegia, dengan pengaruh gaya The Blair Witch Project (1999), Trolljegeren aka Troll Hunter menyuguhkan film horror yang tidak mengerikan, namun memiliki kharisma tersendiri sehingga Hollywood sudah mengakuisisinya untuk di-remake.
Semua film horror atau thriller bergaya dokumenter dengan kamera handheld pasti akan distempeli dengan label ala Blair Witch. Sebagian besar mendulang sukses seperti Paranormal Activity (2007), [Rec] (2007), ataupun Cloverfield (2008). Trolljegeren tidak menawarkan sesuatu yang baru dalam gaya visual tetapi meramu Blair Witch style dengan urban legend Norwegia melalui makhluk mistis bernama Troll. Trolljegeren mengisahkan sekelompok mahasiswa yang berusaha membuat film dokumenter untuk menginvestigasi banyaknya beruang yang ditemukan mati terbunuh. Curiga dengan seorang pemburu bernama Hans, mereka mengikutinya secara diam-diam dan menemukan bahwa Hans adalah seorang pemburu troll. Film dokumenter merekapun berubah dari perburuan beruang menjadi perburuan troll.
Berbeda dengan The Blair Witch Project (1999), Trolljegeren tidak memberikan kengerian yang berarti. Alih-alih menampilkan troll sebagai makhluk horror, kita dituntun untuk melihat sebuah dokumentasi tentang troll secara alami. Bagaimana troll hidup, seperti apa jenis-jenisnya, apa yang disukai, dan lain sebagainya. Beberapa adegan-adegan perjumpaan dengan troll dibumbui adegan aksi kejar-kejaran yang cukup menarik, hanya saja tidak terlalu memacu jantung.
Pengambilan gambar handheld lengkap dengan gambar-gambar bergoncang dan night vision hijau yang creepy dalam Trolljegeren tampak alami dengan efek visual yang memukau. Walaupun kita tahu bahwa ini cuma sekedar film, kreasi monster troll dalam Trolljegeren begitu hidup dan dibuat secara meyakinkan. Akting para mahasiswa yang meliput troll begitu natural dengan adegan-adengan yang juga natural.
Trolljegeren membawa kita ke pemandangan indah hutan-hutan pinus bersalju Norwegia. Bila kita cermati, beberapa kali hutan-hutan yang digunakan sebagai background tampak indah dengan pohon-pohon yang terlihat jelas. Ini sebenarnya aneh karena dalam hutan tidak ada cahaya sehingga seharusnya siluet background hutan tidak akan bisa tertangkap lensa kamera. Terkadang hal ini membuatku lepas dari ilusi real life dan kembali pada pemikiran bahwa Trolljegeren hanyalah sebuah karya fiksi.
Mengikuti definisi dalam cerita rakyat Skandinavia, troll adalah makhluk raksasa yang hidup di pegunungan. Apabila troll terekspos cahaya, maka dia akan berubah menjadi batu. Salah satu karakteristik troll yang dijadikan lelucon dalam Trolljegeren adalah legenda bahwa troll dapat mencium darah orang Kristen. Akibatnya yang menjadi korban pertama adalah sang kameraman yang tidak mengakui kalau dirinya percaya pada Tuhan. Penggantinya adalah seorang cewek muslim. Ketika Hans ditanya apakah darah Islam tidak apa-apa, dia hanya menjawab tidak tahu. Lalu apakah darah Islam dan darah Kristen berbeda? Bisakah iman membaur dengan sel-sel darah merah menjadi satu kesatuan? Penggunaan darah Islam ini muncul sebagai sentilan black humor yang mengena dalam pengkotak-kotakan manusia lewat batasan agama. Bila anda masih bertanya-tanya apakah darah orang-orang di sekitar anda benar-benar Islam, Kristen, atau Hindu dan masih curiga apakah orang yang anda temui berdarah Jawa, Sunda, Cina, atau Padang; mungkin anda harus menonton film ini sehingga anda terinspirasi membuat dokumenter tentang genderuwo di gunung Merbabu yang mampu mencium darah para korbannya dan mengklasifikasikan dalam golongan yang berbeda. Jika anda mati, pastikan anda mengirim footagenya untuk dibuat filmnya.
Penggambaran troll digarap secara manusiawi sehingga penonton dapat memiliki simpati terhadap para troll. Mereka digambarkan sebagai korban birokrasi pemerintahan yang berusaha mengungkung mereka di alam mereka sendiri. Dengan formula ini, Trolljegeren memiliki plot dramatis yang lebih dari sekedar film horror thriller biasa. Inilah sisi humanis film-film horror Eropa yang berbeda dengan film Hollywood. Contoh lain dari sisi humanisme monster yang digarap sangat baik adalah Låt Den Rätte Komma In aka Let The Right One In (2008) yang kemudian juga diremake ala Hollywood lewat Let Me In (2010). Kita lihat saja nanti remake Trolljegeren apakah mampu memunculkan sisi humanisme yang sama.
Walaupun Trolljegeren memiliki gaya pasaran yang tidak menakuti anda, setidaknya ia memberikan hiburan baru berperasaan dengan sentuhan black comedy. Dengan efek visual natural yang menakjubkan dan pesona alam pegunungan, tidak ada salahnya menonton Trolljegeren. Hanya saja mungkin anda harus berpikir dua kali untuk menonton ini bila anda baru saja melakukan blood medical check-up. Who knows what’s in your blood?
AGAS STAR RATING : 6 out of 10
No comments:
Post a Comment