Flop dan Depresi dalam Alter Ego.....
Dengan budget 21 juta dollar dan hanya meraih kurang dari 1 juta dollar pada peredarannya di Amerika, The Beaver menyandang predikat film flop tahun 2011. Akumulasi berbagai faktor menyebabkan film komedi drama besutan Jodie Foster yang sebenarnya sangat menarik ini terpuruk.
Dibintangi oleh Jodie Foster sendiri dan kawan lamanya Mel Gibson, The Beaver menuturkan kisah Walter sebagai kepala keluarga yang kehilangan gairah hidup. Ditinggalkan oleh anak dan istri karena sikapnya yang bagaikan zombie, Walter berniat menghabisi nyawanya dengan melompat dari hotel bertingkat. Jiwa Walter terselamatkan karena mendadak muncul alter ego dalam wujud boneka tangan berang-berang yang baru saja dipungutnya dari tong sampah. Berkomunikasi lewat boneka berang-berang yang menyebut dirinya “The Beaver” ini, Walter mendapatkan semangat baru. Dia menemukan jalan untuk kembali ke keluarga dan merenovasi karirnya sebagai CEO perusahaan mainan. Walau merasa aneh, Meredith, istrinya, menerimanya kembali. Seiring berjalannya waktu, keinginan Meredith untuk mendapatkan Walter yang lama menjadi sirna karena Walter terkubur dalam alter egonya. Meredith mendambakan Walter, namun yang ia dapatkan adalah The Beaver.
The Beaver adalah film yang depresif. Karakter utamanya adalah pria paruh baya setengah mati setengah hidup karena stress. Subyek yang kelam ini dipremise-kan sebagai usaha pencarian jati diri lewat boneka berang-berang alter ego. Bila ada yang bertanya kepada anda, “Apa sih cerita The Beaver?” Lalu anda menjawab,” Orang stress yang ngomong lewat boneka berang-berang.”, apakah anda akan tertarik melihat film ini? Subyek yang sulit dijual membuat film ini susah mendapatkan penonton. Padahal jika berpijak pada topiknya, The Beaver adalah film yang sukses menghadirkan karakter depresif secara realis dan menyentuh.
Karakter Walter yang diperankan Mel Gibson begitu hidup dalam kesuramannya sehingga membawa warna bagi alur cerita The Beaver yang unik. Mel Gibson sebenarnya adalah faktor utama penyebab gagalnya film ini di box office. Bukan karena akting yang jelek melainkan karena kehidupan pribadi Mel Gibson. Kasus perseteruan antara Mel dan istrinya bagaikan kisah Cek dan Ricek kontroversial yang membuat image Mel di mata publik sebagai pria sexist dan racist. Akibatnya publik mencaci Mel Gibson seperti kita mencaci para koruptor. Sayang sekali karena menurutku akting Mel dalam The Beaver begitu prima. Mungkin saja tekanan nyata dalam kehidupan pribadinya membuat Mel mampu menghayati perannya. Adegan Mel Gibson berbicara dengan dua aksen pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh aktor kebanyakan.
Keluarga Walter dalam The Beaver adalah keluarga disfungsional. Ayah yang depresif menyebabkan kedua anak lelaki di keluarga itu menjadi stress juga. Si kecil Henry adalah anak yang introvert dan menjadi obyek pelonco teman-temannya. Porter, anak sulung, berusaha keras melenyapkan kemiripan dia dengan ayahnya yang semakin lama semakin kentara. Karakter Porter membuatku terbersit akan teorema “The Secret” bahwa segala sesuatunya dipengaruhi oleh hukum tarik menarik. Semakin keras usaha Porter menjauhkan ayahnya, justru semakin dekat kemiripan dia dengan sang ayah. Sebagai perbandingan like father like son, sisi lain dalam plot The Beaver menuturkan hubungan cinta Porter dengan teman sekolahnya, Norah, cewek pintar cantik yang juga depresif karena kehilangan kakak lelakinya. Ahh, lagi-lagi karakter yang tidak bahagia. Persentuhan emosi antara 2 orang dalam dilema seperti Porter dan Norah memberikan visualisasi bahwa dengan berbagi kepada teman dan kolega akan dapat mengurangkan beban di hati.
Menurut pendapatku, The Beaver adalah film yang bagus. The Beaver muncul sebagai komedi gelap yang memaparkan masalah rumit secara serius. Stress memang fenomena sehari-hari. Rasanya sebagian besar orang di sekitarku terbelut oleh stressnya masing-masing.. Menonton The Beaver tidak akan memberikan kita hiburan ringan dalam canda tawa, malah sebaliknya, kita mungkin bisa merasa depresi. Kisah muram The Beaver akan berbenturan dengan pencetus stress milik kita dan kita akan bisa merasakan empati terhadap karakter-karakternya. Perasaan yang sama dalam film ini sama dengan yang aku rasakan lewat film-film muram seperti Boy A (2007) ataupun Two Lovers (2008).
Kyle Killen menggarap skenario The Beaver dengan menawarkan alter ego sebagai solusi. Namun bagai buah simalakama, bersembunyi di balik alter ego justru menguburkan diri Walter dan membuatnya menjadi orang lain. The Beaver memberikan ilustrasi bagaimana komunikasi dengan lingkungan sosial sangatlah berpengaruh dalam tingkat kebahagiaan pribadi.
Menilik kegagalan The Beaver di Amerika, pihak distributor berusaha keras mempromosikan The Beaver ke pasar negara berbeda. Untung saja, karena dengan demikian film suram seperti ini bisa tayang di bioskop tanah air dan moviegoers Indonesia bisa menyimak kisah yang berbeda dari kebanyakan hiburan lainnya. The Beaver adalah potret muram yang solid. Bersiap-siaplah untuk mengalami depresi bersamanya.
AGAS STAR RATING : 8 out of 10
No comments:
Post a Comment