Maaf dan Air Mata dalam Rhabdomyosarcoma.....
Kisah nyata perjuangan luar biasa dari Gita Sesa Wanda Cantika dalam menghadapi gerogotan kanker jaringan lunak tertuang hambar dan cengeng dalam Surat Kecil untuk Tuhan. Diangkat dari novel dengan judul yang sama, Surat Kecil untuk Tuhan berupaya menyentuh emosi penonton lewat untaian air mata yang tak kunjung putusnya.
Itulah cerita yang ditawarkan oleh Surat Kecil untuk Tuhan, tidak banyak bukan? Karena cerita yang terbatas ini, maka Surat Kecil untuk Tuhan bergantung penuh pada kekuatan akting tokoh-tokohnya. Yang dilakukan Dinda Hauw dalam menghidupkan Keke dan penyakit rhabdomyosarcoma-nya disebut-sebut menarik karena Dinda rela memotong habis rambutnya demi menghayati peran ini. Rambut yang pelontos tidaklah bisa mengubah kenyataan bahwa performa Dinda sebenarnya datar dan tidak mengeluarkan emosi yang menonjol. Aktingnya sedikit terangkat oleh bantuan aktor kawakan Alex Komang, namun porsi film yang terpusat pada karakter Keke membuat film ini seakan kosong. Bila saja Surat Kecil untuk Tuhan tidak diangkat dari kisah nyata, maka efek popularitasnya tidak akan seperti sekarang.
Penyakit kanker menjadi fokus utama penggarapan Surat Kecil untuk Tuhan. Maka dari itu, penonton disodorkan fase demi fase dalam penyakit rhabdomyosarcoma. Sayangnya, daripada membiarkan penonton mengetahui sendiri secara visual apakah sebenarnya penyakit ini, kunjungan Keke dari dokter ke dokter dinarasikan dengan penjelasan panjang mengenai rhadoblablabla yang bahkan naratornya-pun terlalu kaku dalam menjabarkannya. Penjelasan ini serupa dengan penjelasan mengenai AIDS dalam film Akibat Bebas Seks (1996). Surat Kecil untuk Tuhan menyadur novelnya secara naratif tanpa merumuskannya lebih dalam ke bahasa film dan menganggap penontonnya terlalu bodoh untuk mengetahui apakah kanker itu.
Perjuangan hidup Keke yang teguh diumbar dengan lelehan air mata, sehingga lebih memicu emosi kasihan para penonton dibanding tergugah akan keteguhannya. Setiap lima menit film bergulir, akan ada karakter yang menangis, entah itu Keke sendiri, sahabat, ayah, ibu, maupun pesuruh ayahnya. Pada saat film berakhir, seorang penonton bioskop berseloroh,” Wah, banyak tisunya ya!” Efek cengeng film ini memang mampu menghadirkan air mata sebenarnya dari cewek-cewek penonton yang mudah tersentuh. Bagiku, air mata dalam film ini sangatlah berlebihan dan mengoyakkan inspirasi hidup yang luar biasa yang seharusnya menjadi kunci tema film ini.
Satu hal lagi yang membuat tema inspirasi hidup menjadi buyar adalah banyaknya perkataan maaf dalam dialognya. Keke meminta maaf pada semua orang karena penyakitnya. Ayah dan kekasih Keke kedua-duanya minta maaf karena merasa menjadi penyebab penyakit itu. Kakak Keke, teman Keke, dan ibu Keke turut serta meminta maaf dalam berbagai adegan yang berbeda. Bukankah meminta maaf adalah wujud penyesalan sesorang yang bersalah? Bukankah aksi tegar dalam menghadapi penyakit lebih menginspirasi dibandingkan sekumpulan orang yang menangis meminta maaf? Dari segi ini, Surat Kecil untuk Tuhan hanya berupaya mengaduk-aduk emosi sedih dan tidak mewujudkan gambaran kekuatan mental yang teguh.
Di salah satu pusat bela diri di Jakarta, aku berkenalan dengan seseorang yang menderita cacat. Entah apa penyakitnya aku tidak tahu pasti, tetapi yang jelas berhubungan dengan saraf tulang belakangnya. Dia mungkin susah berjalan dan berbicara, namun sikapnya yang menunjukkan bahwa dia tidaklah berbeda dengan lawan bicaranya menyiratkan ketegaran hatinya. Seseorang yang sakit atau cacat tidaklah dirundung kesedihan yang berurai air mata sepanjang hari. Seharusnya masih banyak segi kehidupan Keke yang bisa ditampilkan tanpa kesedihan dan air mata. Ambillah contoh pada adegan Keke mengikuti ujian. Melihat orang berpenyakit kanker yang bersikeras mengikuti UAN saja sebenarnya sudah menginspirasi. Namun Surat Kecil untuk Tuhan mendramatisasi sedemikian rupa sehingga semua teman-temannya yang ikut ujian menjadi trenyuh dan berurai air mata. Ditambah lagi pesuruh yang mengantar Keke juga bergelimangan rasa sedih. Aku menjadi berteriak dalam hati,” Cukup! No more tears.”
Dengan akting yang pas-pasan, alur cerita yang terbatas dan terlalu menggurui, ditambah dengan dramatisir berlebihan membuat Surat Kecil untuk Tuhan bagaikan sebuah sinetron. Apabila kita menyisipkan pesan-pesan yang mau lewat di antara adegan demi adegan, mungkin Surat Kecil untuk Tuhan bisa jauh lebih dinikmati. Tetapi tetap saja tidak merubah fungsinya sebagai selingan informasi mengenai kanker jaringan lunak.
Satu-satunya hal yang paling berkesan dalam Surat Kecil untuk Tuhan adalah saat melihat foto-foto Keke yang asli di penghujung film beserta seluruh karakter lainnya. Ini mengingatkan bahwa ketegaran yang gagal digambarkan dalam film ini sebenarnya hidup dalam jiwa Keke yang asli. Surat Kecil untuk Tuhan secara positif mengingatkan kita akan adanya individu-individu spesial seperti Keke. Cerita persandingan dengan kanker yang dibagikan Keke kepada kita membuat kita belajar banyak tentang semangat hidup. Filmnya mungkin mengecewakan, namun semangat inspirasinya tidak.
No comments:
Post a Comment