Klik poster film berikut untuk menuju langsung ke review-nya!

28.8.11

Di Bawah Lindungan Ka’bah / Hanny R. Saputra / 2011 (6✰)


Petuah Loyang dan Katjang Koelit dalam Replika Tanah Suci.....

Kisah cinta tragis antara Hamid dan Zainab menjadi hidup lewat saduran cerita klasik religi dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah. Film yang sarat nuansa moral ini terpapar secara cantik, namun terganggu oleh titipan iklan yang disisipkan.

Di Bawah Lindungan Ka’bah menceritakan kisah cinta yang terpisahkan batas status dan adat agama di Padang tahun 20-an. Hamid adalah seorang anak pembantu yang disekolahkan oleh majikannya, seorang hartawan bernama Haji Jaafar. Impian terbesar Hamid adalah pergi menjalankan ibadah haji di Mekah. Lulus perguruan Thawalib, Hamid menjadi guru agama bagi anak-anak kecil di kampungnya dan menjalin cinta dengan Zainab, anak Haji Jaafar. Suatu hari, Zainab tenggelam di sungai. Hamid menyelamatkan Zainab dan memberikan pernafasan buatan di depan umum. Karena dianggap telah menyentuh Zainab secara tidak senonoh, Hamid dibuang keluar kampung. Zainab kemudian dijodohkan dengan kerabatnya demi menjaga harta keluarga. Setelah kematian ibunya, Hamid-pun terpaksa pergi merantau dan berpisah dengan Zainab tanpa sempat berucap pisah. Kerinduan yang dalam membuat Zainab sakit-sakitan. Ketika teman Zainab hendak berangkat haji, Zainab menitipkan sebuah surat untuk Hamid karena percaya bahwa Hamid akan mewujudkan impiannya. Dengan kuasa Allah, surat itu sampai ke Hamid di hadapan Ka’bah. Cinta keduanya menemukan satu sama lain, namun sayangnya semua telah terlambat. 

Emas tak akan setara dengan loyang dan sutra tak akan sebangsa dengan benang. Layaknya sebuah karya sastra, Di Bawah Lindungan Ka’bah dipenuhi dialog yang puitis dan nasehat yang dalam dan bermakna. Lewat campuran budaya Minang yang terpadu dengan nilai islami, dialog demi dialog dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah bagaikan karya klasik kiasan dan pantun. Adegan percintaan antara Hamid dan Zainab juga dituturkan secara simbolis bagaikan Romeo dan Juliet dalam percakapan yang terpisahkan batas spasial berupa pagar kayu. Sangat menarik.

Karakter Hamid dan Zainab diperankan secara apik oleh Herjunot Ali dan Laudya Chintya Bella. Walaupun emosi cinta antara Hamid dan Zainab kurang begitu keluar, Junot dan Bella berperan secara natural menggunakan penokohan teatrikal layaknya sebuah dongeng. Para pemeran pembantu lainnya, termasuk Didi Petet, Widyawati, dan Jenny Rachman, berperan secara utuh walaupun tidak ada yang menonjol. Secara keseluruhan, ensemble cast film ini agak datar, namun tetap pas dan mengalir untuk disaksikan.

Di Bawah Lindungan Ka’bah bersetting di Padang pada zaman sebelum kemerdekaan Indonesia. Konsep kuno ini dicoba dihadirkan lewat kereta uap, pasar dan perkampungan retro ala Minang, dan kostum-kostum era lama. Akan tetapi entah mengapa kesan vintage-nya kurang terasa. Salah satu sebabnya mungkin karena aku familiar dengan stasiun kereta Ambarawa yang menjadi set film. Baru-baru ini kukunjungi dengan keponakan, aku menjadi kurang konektif dengan suasana Minang. Semarang kan jauh dari Padang. Tapi itu hanya opini personal karena bukan itu penyebab hilangnya suasana jebot di Di Bawah Lindungan Ka'bah. Atmosfer suasana kuno yang dicoba dihasilkan Di Bawah Lindungan Ka'bah menjadi rusak lantaran sisipan produk masa kini yang berseliweran di film. Katjang Koelit Garuda dan Oebat Njamuk Baygon.

Itulah kelemahan terbesar Di Bawah Lindungan Ka’bah yang merusak semua yang indah di film ini. Karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga. Pada saat penonton merasakan emosi percintaan antara Hamid dan Zainab, tiba-tiba saja tokoh teman Hamid, Saleh, menuang kacang Garuda dan memakannya. What the hell? Pada saat berita mengenai kedatangan tunangan Zainab, ada karakter yang makan Gery Chocolatos yang di awalnya digambarkan sebagai merek cerutu.  Begitu juga ketika Zainab menunggu dalam duka, sang ibu akan menyalakan Baygon bakar. Sinematografi film tidak berusaha menutupi titipan yang mau lewat ini tapi justru menyorotnya dengan close-up. Walaupun ini efek komersil yang sukses karena pasti penonton berkomentar banyak tentang kacang garuda tinimbang cerita filmnya, tetapi aduh..... sangat disayangkan.

Walhasil perasaan setelah menonton Di Bawah Lindungan Ka’bah menjadi getir. Ada keinginan untuk tersentuh, tetapi tidak bisa. Banyak penonton yang tertawa ketika iklan-iklan ini muncul. Bagiku akibatnya fatal. Merupakan film berbudget paling besar tahun ini (sekitar 25 milyar), Di Bawah Lindungan Ka’bah hanya menjadi ajang promosi dan money-making dengan mengorbankan semua kerja keras nilai estetika film di dalamnya.

Dengan kebanyakan ilustrasi musik yang kurang sesuai dengan zamannya, Di Bawah Lindungan Ka’bah menampilkan beberapa aransemen musik tradisional saluang dan talempong yang membantu menciptakan suasana tradisional. Dibantu oleh replika Ka’bah dan bantuan animasi komputer CGI untuk memvisualisasikan suasana Mekkah, Di Bawah Lindungan Ka’bah tampak serius dalam mencoba menjadi film yang epik. Sayangnya efek CGI pada beberapa frame terlihat jelas dan justru menunjukkan kembali sisi modernitas dari film yang selayaknya retro ini.

Salah satu adegan yang menarik adalah penggambaran surat cinta yang dihanyutkan lewat sabut kelapa di sungai. Dengan kincir air yang rupanya menjadi kesukaan Hanny sang sutradara, adegan ini menunjukkan bagaimana pesan cinta masa lalu yang tiada sms dan blackberry bisa menjadi lebih romantis. Ketika Hamid pergi, Zainab menemukan sabut kelapa kosong yang hanyut dan membuatnya mengirimkan bentuk surat cinta lainnya. Sampainya surat ini ke Ka’bah memang terasa klise, namun justru inilah bentuk cerita klasik yang menunjukkan bahwa ada tangan lain yang berperan dalam kehidupan kita.

Dengan suasana libur Ramadhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah menjadi satu-satunya film yang bertema Islami. Seperti tuturan karakter Hamid di Ka’bah,” Tidak ada suatu tali pun tempat saya bergantung, lain daripada tali Engkau, tidak ada pintu yang akan saya tutup, lain daripada pintu Engkau. Ya Rabbi, Engkaulah Yang Maha Kuasa, kepada Engkaulah kami akan kembali.”, Di Bawah Lindungan Ka’abah menunjukkan bahwa segala sesuatu ada di tangan Tuhan. Bila anda menonton film ini, ingatlah akan hal itu dan lupakanlah katjang koelit Garuda.

AGAS STAR RATING : 6 out of 10

1 comment:

  1. Film yang indah menurut saya. Tatanan musiknya juga bagus.
    Aktingnya oke. Salut dengan Widyawati dan Didi Petet dengan aksen Padangnya.
    Namun menurut saya sangat panjang... betul-betul 2 jam murni.
    Penonton disamping saya tertidur dan ditambah dengan suara grrokkk... groook... sangat menganggu.
    Betul kata Agas... Katjang Koelit Garuda, Baygon, dan Chocolatosnya sangat mengganggu.
    Ini kok seperti iklan. Close upnya luar biasa.
    Ini malah menjadi bahan pembicaraan penonton disamping saya (sebelum ia tidur pulas) "Emang Garuda dan Baygon sudah ada yah saat itu..."
    Hahahahha...
    Tapi overall, saya cukup suka dengan film ini.
    Saya yang biasanya tertidur dengan film yang panjang... kali ini bisa terbelalak sampai akhir film...

    ReplyDelete