Lima Sekawan dan Hutan Serangga dalam Praja Muda Karana.....
Tepuk pramuka. Plak plak plak! Nostalgia kemah pramuka zaman SD kembali muncul tatkala aku menonton Lima Elang. Walau kemahku dulu hanya di area sekolah, kenangan akan menyeberangi sungai dengan tandu buatan dan membuat api unggun berkelebat datang. Namun bila zaman dulu saja pramuka termasuk aktivitas yang tidak keren, mungkinkah Lima Elang mampu membangkitkan semangat pramuka pada diri anak Indonesia zaman sekarang?
Menceritakan petualangan lima anak dalam mengikuti perkemahan pramuka, Lima Elang dimulai dengan kepindahan seorang anak Jakarta bernama Baron ke Balikpapan. Merasa kehilangan geng mobil RC-nya, Baron tidak betah tinggal di Balikpapan dan menunggu waktu liburan untuk kembali ke Jakarta. Namun karena ulah Rusdi, seorang anak supel cerdik yang gemar Pramuka, Baron terpilih untuk mewakili sekolahnya ke perkemahan pramuka bersama dengan Anton, si ahli api, dan Aldi, si kecil pecinta cewek. Karena lokasi kemah dekat dengan pameran mobil RC, maka Baron memutuskan ikut.
Di lokasi kemah, regu Baron yang bernama regu Elang berjuang dalam berbagai permainan untuk menjadi juara. Ketika persahabatan mulai terjalin, Baron meninggalkan kemah untuk mengunjungi pameran bersama Aldi dan Sindai, seorang pramuka cewek perkasa yang muak dengan perlakuan centil rekan satu regunya. Namun ketika mengetahui bahwa Rusdi dan Anton diculik gerombolan pembabat hutan, mereka bertiga kembali untuk menyelamatkan Rusdi dan Anton. Dengan menggunakan otak dan fisik, mereka berlima bahu membahu untuk menggulung gerombolan perusak hutan tersebut.
Sebagai penggemar Ada Apa Dengan Cinta (2002), aku mengharapkan Rudy Soedjarwo memberikan kepuasan menonton yang sama dengan Lima Elang. Diawali dengan perkenalan masing-masing karakter yang cukup menarik, Lima Elang terlihat menjanjikan. Namun seiring cerita bergulir ke area perkemahan, Lima Elang menjadi begitu datar. Sensasi petualangan tidak begitu keluar dan emosi kita menjadi rata.
Kurangnya rasa petualangan pada Lima Elang juga dirasakan oleh banyak anak yang menonton di sekelilingku. Ekspresi mereka setelah menonton berbeda dengan ekspresi puas anak-anak yang melihat Tendangan dari Langit (2011). Ada yang kurang. Menurutku ini terjadi karena kehebatan tiap-tiap karakter tidak ditonjolkan saat adegan puncak.
Rusdi misalnya. Sebagai tokoh utama yang cerdik, Rusdi justru dikisahkan menjadi pihak yang terculik. Akibatnya, kepintaran Rusdi tidak terlalu berpengaruh dalam penggulungan gerombolan pembabat hutan. Begitu pula Anton si ahli api. Menggunakan api sebagai salah satu alat bantu pembebas, penonton tidak bisa tergerak semangatnya untuk mengikuti bahwa ini adalah unjuk gigi Anton. Yang terlihat hanya tangan menyalakan korek, itu saja. Kurangnya eksplorasi karakter seperti ini membuat adegan aksi petualangan Lima Elang menjadi hambar.
Karakter-karakter utama Lima Elang mengingatkanku akan novel Lima Sekawan atau Trio detektif. Selayaknya novel, film Lima Elang ini adalah episode pertama dari pengenalan karakter untuk bisa diteruskan sebagai sekuel ataupun sinetron. Pada bagian akhir, mereka berkumpul di markas mereka dengan berpose menggunakan gadget disertai embel-embel “Sampai Jumpa Pada Episode Berikutnya”. Lewat satu cuplikan adegan akhir ini, buyar sudah semangat pramukanya. Para tokohnya diilustrasikan seperti superhero modern, berpakaian modis dengan seting ala basecamp Power Rangers. Kenapa bukan lagi semangat pramuka dengan gadget dari alam?
Lima Elang adalah film yang ringan dengan muatan moral mendidik untuk anak. Topik yang dicetuskan adalah kecintaan pada hutan berikut menghentikan penebangan liar dan pengambilan satwa terlindungi. Sayangnya efek hutan yang rusak tidak dikisahkan dengan lebih dalam dan hanya menjadi tempelan setting satu adegan yang kurang dari 10 detik. Motivasi para penebang hutan untuk menculik terkesan dipaksakan dan tidak pas karena mereka hanya bersua dengan Rusdi dan Anton tanpa ada unsur penebangan hutan ataupun pengambilan satwa liar.
Lebih banyak berkutat dengan aktivitas di perkemahan, lomba demi lomba yang dihadirkan tergambar statis. Ada tarik tambang, lomba lari, dan sebagainya, namun divisualisasikan seadanya tanpa ada emosi yang tercurah. Bukan berarti tarik tambang harus didramatisir sedemikian rupa, tetapi setidaknya bisa diberikan sedikit emosi karena pertandingan 2 orang melawan 5 orang itu menarik. Entah mengapa di film ini justru main mobil RC terlihat lebih menarik daripada perkemahan pramuka. Ini terjadi karena kebanyakan pemeran pendukung digambarkan ikut pramuka secara asal-asalan. Para pembinanya juga berkeluh kesah tentang pramuka zaman sekarang. Jika saja tidak ada insiden penculikan, maka perkemahannya menjadi biasa saja.
Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah penggunaan serangga dalam Lima Elang. Menggunakan insert berbagai jenis serangga dalam pergantian frame adegan, sang sutradara berupaya menuturkan simbolisasi yang berkaitan antara hutan dan pramuka. Pergantian antara semut dan kumbang dengan perlombaan menjadi inovatif karena serangga adalah makhluk yang bekerja sama seperti layaknya pramuka. Anda mungkin tidak menyadarinya ketika menonton, tetapi bentuk simbol tersembunyi ini menunjukkan kualitas lebih Rudy sebagai sutradara.
Pramuka oh pramuka. Persepsi sebagai aktivitas yang seru agaknya belum terangkat oleh Lima Elang. Padahal jika kita mengikuti perkemahan pramuka dengan semangat, segalanya begitu asyik. Tak ubahnya kemah mabim masa kuliah ataupun peloncoan SMA (mungkin sudah nggak zamannya), kegiatan sosialisasi ini akan memberikan kenangan seumur hidup bagi kita. Walaupun agak kedodoran, secara keseluruhan Lima Elang adalah film yang utuh dengan hiburan bermuatan moral bagi anak-anak. Karena itu, tidak ada salahnya ditonton bersama keluarga.
AGAS STAR RATING : 5 out of 10
No comments:
Post a Comment