Pengalaman Sensorik dan Kotbah dalam Misteri Kosmos.....
Kedua penonton di sebelahku tertidur pulas. Lebih dari 15 orang meninggalkan teater. Saat film selesai, setengah ruangan teater bengong dan ada yang menyeletuk merasa rugi membayar 50 ribu untuk menonton film ini. The Tree of Life bukanlah tontonan biasa. Anda bisa menyukainya atupun membencinya. Aku menganggap The Tree of Life luar biasa, namun bukan berarti menganjurkan anda menontonnya.
The Tree of Life tidaklah sebuah film cerita. Bagiku menonton The Tree of Life serasa menapaki pengalaman visual yang memunculkan sebuah simfoni dalam kompleksitas emosi. Menonton midnight jam 12 malam dengan durasi dua setengah jam dan tuturan visual yang tidak lazim seharusnya membuatku mengantuk, akan tetapi entah mengapa untaian gambar dalam The Tree of Life bisa membuatku lekat memandang layar. Memang terdapat bagian-bagian yang membingungkan dan tidak kupahami dalam The Tree of Life, namun bagiku itulah pesonanya. Bila dulu aku bisa menonton film Terrence Malick sebelumnya, The Thin Red Line (1998) sebanyak 5 kali, mungkin kali ini juga bisa sama.
Cerita The Tree of Life berputar pada memori pencarian esensi hidup dan mati seorang pria bernama Jack yang dituturkan lewat perjalanan hidup bersama keluarganya. Jack selalu dibayangi oleh kematian adik lelakinya 19 tahun yang lalu. Terperangkap dalam metropolitan kota yang menyesakkan, Jack merefleksikan diri. Dimulai dari renungan epik asal muasal hadirnya manusia dan penciptaan alam semesta, Jack mempertanyakan keberadaan iman dan Tuhan lewat tolehan balik ke hubungan masa kecilnya yang rumit dengan ayah, ibu, dan adik-adiknya.
Susah menceritakan alur cerita The Tree of Life karena film ini lebih condong menjadi instalasi seni daripada sebuah film. Diawali dengan sebuah cahaya yang berpendar abstrak (yang kemudian sering diulang-ulang), The Tree of Life dilanjutkan dalam serentetan gambar indah dan suara yang bertautan diiringi voice over yang berbisik. Mulai dari sini, kita akan terperangkap ke dalam dunia The Tree of Life yang membosankan bagi sebagian orang dan memikat bagi sebagian yang lain.
Jika banyak kritikus Amerika membandingkan The Tree of Life dengan 2001: A Space Odyssey (1968), bagiku The Tree of Life mengingatkanku akan rentetan pengalaman sensorik yang sama seperti ketika menonton Un Lac (2008), Enter the Void (2009), Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives (2010), ataupun DI Dasar Segalanya (2010). Keunikan The Tree of Life adalah betapa kompilasi visual kehidupan sehari-hari bisa berpadu dengan kejadian tertentu dan menciptakan emosi yang kuat. Di bagian awal The Tree of Life kita merasakan cinta kasih. Berubah menjadi rasa marah, rasa benci, rasa bersalah, dan kembali menjadi cinta, lingkup pergantian perasaan lewat audio visual membuat The Tree of Life adalah film yang menakjubkan.
Keluarga Jack menanam sebuah pohon kecil di awal film dan sang ibu berujar pada anak-anaknya bahwa pohon itu akan tumbuh besar pada masa yang jauh daripada ketika mereka tumbuh dewasa. Pada waktu aku pergi ke Kebun Raya Bogor saat libur kemerdekaan lalu bersama teman, aku melihat banyak pohon-pohon raksasa berbatang besar. Sungguh indah dan menakjubkan. Rentang waktu penciptaan pohon-pohon ini begitu lamanya. Dengan beranalogi menggunakan pohon kehidupan, pencarian eksistensi hidup Jack dalam The Tree of Life juga melenceng jauh dari sekedar bernafasnya dia sebagai manusia.
Menit-menit awal The Tree of Life diisi oleh ilustrasi misteri penciptaan alam semesta dengan keindahan visual ala film dokumenter Discovery Channel. Bertubruknya partikel-partikel luar angkasa, pendaran cahaya matahari, dan pergumulan sel-sel mikroorganisme membuat kita terasa begitu kecil. Adegan dinosaurus yang tidak jadi memakan mangsanya memunculkan kebaikan primitif yang cocok dengan tema pencarian misteri kosmos.
Seperti disebutkan dalam The Tree of Life, terdapat dua jalan kehidupan. Jalan alam dan jalan kebaikan. Manusia harus memilih mana yang akan dia tempuh. Kontrasnya kedua jalan ini digambarkan The Tree of Life lewat tokoh orang tua Jack. Karakter ibu dalam The Tree of Life disosokkan seperti malaikat. Anggun menari-nari dan bahkan melayang-layang dalam satu adegan. Ini disandingkan dengan karakter ayah yang divisualisasikan bagaikan pohon besar. Kokoh, keras, dan memiliki insting natural. Semua ayah pasti pernah memarahi anaknya dan semua ibu pasti pernah memeluk anaknya. Gambaran yang diberikan The Tree of Life bisa menyentuh semua insan manusia.
Satu-satunya hal yang mungkin terasa berlebihan dalam The Tree of Life adalah betapa kental muatan rohani yang dituturkan. The Tree of Life laksana kotbah panjang dalam misa pagi yang dijabarkan secara abstrak dan tidak jelas. Jika Ayat-ayat Cinta (2008) adalah film bermuatan islamiah, maka The Tree of Life adalah 100% film dengan muatan kristiani. Diawali dengan kutiban dari kitab Ayub, The Tree of Life adalah visualisasi renungan doa. Menurut temanku yang religius, kitab Ayub adalah kitab yang nelangsa. Berkutat antara hidup dan mati dan kesedihan karena ditinggalkan orang yang dicintai, penggunaan Ayub sebagai narasi memang pas dengan kompilasi visual yang dihadirkan.
Aku bersyukur bahwa film seperti ini bisa tayang di bioskop Indonesia. Mungkin ini karena efek larangan impor film MPA sehingga pilihan judul film menjadi sempit atau mungkin karena embel-embel Brad Pitt dan Sean Penn sebagai bintang utama. Bila anda ingin menonton The Tree of Life hanya karena ingin melihat kegantengan Brad Pitt, bersiap-siaplah untuk kecewa dan membuang-buang uang. The Tree of Life bukanlah Legends of The Fall (1994) atau Inglorious Basterds (2009).
The Tree of Life diakhiri dengan pantai berpasir laksana surga dengan jiwa-jiwa kesepian yang lalu lalang, Abstrak dan mungkin terkesan sok ambisius, adegan ini mengakhiri perjalanan yang luar biasa dalam The Tree of Life. Sebelum anda menonton film ini, cobalah tonton dulu beberapa film yang aku sebutkan di atas sebagai perbandingan. Bila anda merasa bisa menghadapinya, maka persiapkan diri anda menjalani roller coaster visual dalam The Tree of Life.
AGAS STAR RATING : 9 out of 10
No comments:
Post a Comment