Lintas Dialog dan Parkour dalam Tarian Atap.....
Dengan bumbu drama yang tidak menarik, akting yang kaku, lagu-lagu yang tidak berkesan, dan tarian seperlunya yang tidak relevan dengan adegan, Beat the World menyuguhkan hiburan yang membosankan dalam usahanya meramaikan genre “dance flick”.
Setiap kali kita disuguhkan sebuah film baru mengenai kompetisi tari, kita akan selalu membandingkannya dengan Step Up (2006) dan kedua film lanjutannya. Bila menurutku Step Up 3D (2010) berhasil menggabungkan tarian dengan teknologi 3D dalam koreografi tarian yang spektakuler, maka Beat the World hanyalah sebuah film kelas dua bertema hip hop. Menyaksikan menit demi menit tuturan Beat the World terasa hanya membuang-buang waktu saja.
Beat the World menceritakan usaha tiga kru dansa di tiga belahan dunia yang berbeda: Amerika, Brazil, dan Jerman. Berusaha memenangkan uang yang besar dalam kompetisi hip hop bernama Beat the World, drama bergulir di dalam tubuh ketiga kru dansa ini. Di Detroit, terjalin dilema cinta dan karir antara pemimpin kru bernama Yuson dengan kekasihnya Maya. Di Rio, salah seorang anggota kru bertaruh dengan uang kru dan akibatnya berhutang kepada gangster. Di Berlin, terjadi perselisihan antara kepala kru dengan anggotanya. Ketika mereka semua bertemu di dalam kompetisi Beat the World, hanya ada satu kru yang akan berhasil. Satu kru akan menaklukkan dunia hip hop. Yang mana?
Merupakan sequel dari You Got Served (2004) yang memberikan koreografi memikat, Beat the World memanfaatkan judul ini sebagai embel-embel di depannya. Namun dengan sutradara berbeda dan jajaran aktor yang sama sekali lain dari film orijinalnya, Beat the World berbanding terbalik dengan You Got Served (2004). Secara keseluruhan, Beat the World keteteran dimana-mana dan memiliki kualitas yang sangat rendah.
Dari sekian banyak kegagalan Beat the World, satu hal mencolok yang sangat menyakitkan untuk disimak adalah bagaimana keseluruhan kru di tiga dunia berbeda berdialog dalam bahasa Inggris. Dialog-dialog yang ala kadarnya diucapkan dengan sangat kaku dan terasa salah. Seharusnya orang Jerman bicara bahasa Jerman dan orang Brazil bicara bahasa Portugis. Atau setidaknya jika mereka berusaha meng-Inggriskan dialog seperti pada Valkyrie (2008) ataupun The Reader (2008), setidaknya mereka harus meng-casting aktor yang bisa mengucapkan dialognya dengan normal. Akibatnya, lintas dialog dalam Beat the World menjadi menyiksa untuk disaksikan. Akting Christian Loclair sebagai pemimpin kru dansa di Jerman tak ubahnya akting gagal mama Ferdy dalam Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011) yang telah kureview sebelumnya.
Plot drama yang dijalin untuk ketiga kru dansa begitu klise dan tidak berkembang. Dengan akting pas-pasan, adegan perselisihan tergambar tanpa emosi dan datar. Cerita dalam sebuah dance flick memang biasanya standar karena yang terpenting adalah koreografi tariannya. Dalam hal utama yang paling penting ini, Beat the World juga gagal. Aku mungkin bukan penggemar hip hop, tapi bagiku sebagian besar koreografi yang dimunculkan Beat the World sangatlah buruk. Bila anda gemar menyaksikan dance flick atau reality show tari seperti So You Think You Can Dance atau America’s Best Dance Crew, maka anda akan menguap bosan ketika menyaksikan tarian demi tarian Beat the World.
Set Bet the World hanya ada di 2 tempat: atap maupun studio kompetisi. Untuk memperpanjang durasi film, banyak adegan tarian solo dilakukan di atap yang tidak jelas juntrungannya. Tarian-tarian atap ini seperti tidak sinkron dengan kompetisi yang berlangsung. Dengan editing yang buruk, Beat the World tidak bisa menyatukan tarian dan drama menjadi satu kesatuan yang utuh. Tarian terasa sebagai sisipan saja. Beat the World berusaha mengimitasi Step Up (2006), namun imitasinya pun kelas lima. Bila film ini adalah tas Louis Vuitton bajakan di Mangga Dua, maka anda bisa membelinya seharga kurang dari lima puluh ribu rupiah.
Menurut tuturan sutradaranya, secara prinsipal Beat the World berusaha memadukan hip hop dengan parkour. Parkour adalah gerakan-gerakan lincah untuk menyelaraskan jiwa dan raga dalam mengatasi halangan-halangan fisikal menggunakan kecepatan tinggi, kekuatan fisik, dan kegesitan yang taktikal. Aksi parkour spektakuler dalam dilihat di film Yamakasi (2001) dan Banlieu 13 (2004). Memadukan parkour dan hip hop memang ide yang menarik, namun eksekusinya sangatlah susah. Sang koreografer film harus handal dalam mencari gerakan yang berkesan. Muncul dari ide orisinil yang menarik, Beat the World tidak bisa mewujudkannya menjadi hiburan yang bermutu.
Pertarungan kompetisi hip hop yang digambarkan di Beat the World adalah kompetisi kelas dunia. Namun tarian yang dimunculkan begitu sempit dan tidak terasa sebagai tari kelas dunia. Akibatnya penonton yang menyaksikan hanya bisa bergumam,” It’s okay.” lantaran mereka memang tidak bisa menari seperti itu. Tapi cukup sekedar okay. Menonton tarian-tarian JabbaWockeeZ yang diulang-ulang selama 1 jam lebih terasa jauh lebih menyenangkan dibandingkan terperangkap di kursi bioskop menonton Beat the World.
Untung saja Beat the World tidak dimunculkan dalam versi 3D karena hanya akan menjadi ajang perampasan uang untuk sesuatu yang tidak bagus. Bila anda sedang menimbang-nimbang untuk menonton film ini, beli saja DVD bajakannya dan bersiap-siaplah kehilangan uang lima ribu dan waktu satu setengah jam yang berharga. Jika anda adalah fans hip hop dan tidak pernah melewatkan satupun dance flick, tonton saja Beat the World di bioskop. Kemudian berikan komentar anda di bawah artikel ini dan biarkan aku membalasnya dengan,” I told you so!”
No comments:
Post a Comment