Klik poster film berikut untuk menuju langsung ke review-nya!

2.8.11

Insidious / James Wan / 2011 (5✰)


Horor dan Anak-Anak dalam Alam Lain.....

Insidious bertutur mengenai usaha sepasang suami istri untuk menyelamatkan anak mereka yang koma secara misterius.  Lewat bantuan seorang paranormal, terungkap bahwa jiwa anak mereka sedang tersesat di alam lain dan jasmaninya yang kosong menjadi incaran hantu-hantu yang mencoba mencari kesempatan hidup yang kedua.

Seminggu sebelum menonton film ini, aku terlibat dalam pembicaraan seru mengenai kejadian spiritual pada saat kemah universitas. Seorang mahasiswa, dalam kewajibannya menjadi tata tertib, membuka jalan di pegunungan untuk jurit malam. Dia tiba-tiba melihat cahaya terang di sebelahnya dan mendapat ilusi bahwa terdapat sebuah perkampungan lengkap dengan manusianya. Karena takut, dia langsung kabur. Namun apabila pada saat itu dia menuju ke arah perkampungan itu, maka dia akan hilang dan tersesat ke alam lain. Tidak di sini, tidak di Barat sana, yang namanya alam lain itu memang dipercayai ada.  Dalam Insidious, alam lain ini disebut dengan “The Further”.  Sayangnya gambaran “The Further” di film ini sangatlah sempit. Entah dikarenakan budget film yang kecil atau memang keinginan dari sang sutradara, “The Further” milik Insidious hanya berkutat di seputar rumah tinggal keluarga tersebut. Sangat disayangkan karena sesungguhnya sang sutradara bisa mengembangkannya lebih dalam dalam perspektif yang berbeda.

Berbicara si sutradara, James Wan sebenarnya lahir tidak jauh dari Indonesia; di negara tetangga kita, Malaysia. James menuai ketenaran lewat Saw (2004), yang merupakan salah satu film horror favorit saya. Termasuk sebagai film “torture porn” yang sukses besar, Saw berubah dari indie horror menjadi mega franchise dengan tujuh fillm dan dua video games. Mendompleng ketenarannya, nama Saw juga ikut dibawa-bawa dalam promo Insidious. Ini cukup efektif karena saya menjadi tertarik dengan film ini juga salah satunya kerana ada embel-embel Saw. Sayangnya bagi saya, Insidious tidak bisa dibandingkan dengan Saw. Insidious memiliki banyak kelemahan disana-sini dan efek kejutannya tidak seefektif Saw.

Kelemahan utama Insidious adalah perubahan atmosfer pada pertengahan film yang menjadikan emosi berganti. Setengah bagian film pertama merupakan misteri klasik rumah berhantu dengan barang-barang yang berpindah, sosok yang muncul tiba-tiba, dibantu dengan suara minimalis yang mendadak dipecahkan oleh dentingan piano. Setengah bagian kedua adalah bagaikan film fiksi ilmiah dengan senter sinar ultra violet, alat mainan homemade untuk mendeteksi hantu, topeng gas yang sangat tidak masuk akal (aku tertawa ketika melihatnya), dan perjalanan ke “The Further” untuk menemui hantu berwajah merah yang tidak didukung visual efek yang meyakinkan. Dengan pergantian ini, terjadi juga pergantian karakter pendukung. Setengah bagian pertama memberi kita kengerian karena sang hantu menteror dua anak lain di keluarga itu, termasuk seorang bayi perempuan. Namun di setengah bagian kedua, mereka hilang entah ke mana dan digantikan dua orang “geek” dan dua wanita tua. Di akhir cerita bahkan kita seakan-akan lupa kalau keluarga itu memiliki 3 anak dan hanya teringat si hantu berwajah merah dan hantu nenek-nenek berwajah buruk rupa. Si hantu wajah merah sendiri merupakan kegagalan yang lain bagi saya karena bagian akhir film mempertontonkannya secara gamblang dalam sebuah adegan bagaikan dalam film Alien. Sekali lagi untaian kengerian si hantu yang sudah dibangun sejak awal film berubah menjadi aksi laga petualangan. Untung saja hantu nenek-nenek buruk rupa masih bisa menyelamatkan kengerian di ending film; yang sayangnya mudah sekali tertebak.

Di luar inkoherensi karakter, pergantian mood, twist yang terduga, dan kegagalan hantu wajah merah, Insidious tetap memberikan apa yang diharapkan oleh orang-orang yang menontonnya. Horor. Rekan saya yang menonton film ini malamnya tidak dapat tidur nyenyak karena terbayang hantu-hantu Insidious. Dia bahkan menyetir pulang dengan tangan gemetar dan takut mematikan lampu apartemennya. Beberapa cewek di belakang saya juga terpekik dan menjerit-jerit dalam beberapa adegan yang mengejutkan. Saya sendiri beberapa kali terkejut dan terkadang merinding. Tidak disangkal bahwa Insidious memiliki nuansa seram tersendiri dan karenanya badan sensor film meloloskannya dengan klasifikasi dewasa.

Mengapa saya menyebut-nyebut klasifikasi film? Karena ada satu kejadian sangat menarik pada saat menonton Insidious. Penonton yang duduk tepat di depan saya, yang selalu berdiri ketakutan dan banyak mengoceh , adalah seorang anak SD. Usianya paling baru sebelas tahun. Dia beberapa kali minta keluar gedung dan sang ayah hanya menyuruhnya duduk. Walaupun cover Insidious menunjukkan gambar seorang anak kecil (yang jelas-jelas kerasukan setan), apakah Insidious merupakan film yang bisa ditonton oleh anak di bawah umur? Kelihatannya sang ayah mengajak si anak karena keinginan si ayah untuk menonton film ini. Lantas apa jadinya kalau sang ayah ingin nonton film Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011) atau Hantu Tanah Kusir (2010)? Saya bingung kenapa si penyobek tiket nonton tetap memperbolehkan sang anak masuk. Tetapi inilah Indonesia, asalkan sudah membayar ya boleh-boleh saja. Terkadang kita tidak bisa menyalahkan sensor, karena semua tergantung dari penontonnya. Saran saya, jangan ajak anak anda yang masih kecil menonton film ini. Siapa tahu anda mendapat karmanya dan jiwa anak anda berkelana ke alam lain seperti si anak dalam Insidious. Seram bukan? Insidious memang memberikan rasa seram, akan tetapi apakah hanya kaget dan takut yang anda harapkan saat menonton film horor?

AGAS STAR RATING : 5 out of 10

No comments:

Post a Comment