Kompas dan Monster Hitam dalam Inner City…..
Attack the Block adalah sebuah film sains fiksi komedi dari Inggris. Merupakan film debut Joe Cornish, Attack the Block menceritakan perlawanan sebuah geng remaja jalanan terhadap invasi alien di sebuah kompleks rumah susun inner city South London.
Film bermula dari aksi geng remaja jalanan, dipimpin oleh seorang anak kulit hitam bernama Moses, yang mengompas seorang suster bernama Sam. Setelah berhasil, mereka dikejutkan oleh jatuhnya sebuah meteor dari angkasa ke sebuah mobil. Berupaya mengambil barang dari mobil yang rusak tersebut, Moses masuk ke dalam mobil dan dilukai oleh sesosok makhluk, yang kemudian dibunuhnya. Ternyata makhluk ini adalah awal dari invasi alien bercakar besar dan bergigi tajam yang akan menyerang blok kediaman mereka.
Dari bagian awal tersebut, kita diperkenalkan dengan karakter utama film lewat sebuah adegan pengompasan. Segerombolan pemuda mengeroyok satu cewek untuk meminta dompet atau hp. Bila anda tinggal di kota besar seperti Jakarta, adegan semacam ini sudah sering terjadi. Pesona metropolitan membius gelombang urbanisasi, yang melahirkan generasi remaja yang hidup dalam tekanan keras. Perilaku kompas menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Akibatnya, mau tidak mau kita akan memiliki sentimen negatif terhadap karakter Attack the Block, terutama Moses sebagai leader yang sok-sokan dan terlihat berangasan. Cerdiknya, film ini mampu merubah image negatif Moses di setengah bagian awal film menjadi kisah heroik di penghujungnya. Jalinan peristiwa dan persentuhan Moses terhadap tokoh lainnya akan membukakan mata kita terhadap realita hidup perkotaan. Tokoh utama dengan flaw seperti Moses-lah yang menghidupkan ritme film ini.
Dipenuhi oleh black humor ala British, Attack the Block mampu menghadirkan senyum dan kepuasan saat menontonnya. Walaupun terlihat jelas bahwa film ini berbudget kecil, dengan gaya kostum yang hip hop, pengambilan gambar yang enerjik, dan sentuhan art direction yang kumuh berbaur menjadikan Attack the Block sebuah film yang memiliki soul tersendiri. Salah satu hal yang menarik adalah penggambaran sosok alien. Alih-alih menggunakan efek visual ala kadarnya (seperti pada film Hissss (2010) ataupun Insidious (2011)), Attack the Block menggambarkan tokoh alien dalam sosok monster monokromatik hitam legam dengan gigi tajam yang bersinar. Tokoh alien ini mengingatkanku akan hantu monyet pada film Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Time (2010). Kesederhanaan monster yang hanya mengandalkan satu warna, justru memperkuat image si monster dan membuat kita mampu menerima wujudnya sebagai tokoh yang dipenuhi kegelapan. Karakter monster hitam ini dengan cermatnya dipadukan oleh Joe dengan balutan lighting dari lampu-lampu fluorescent dan penggunaan shadow untuk menciptakan kontras yang serasi, sekaligus memiliki humor tersendiri.
Dan kemudian, tentu saja, daya tarik daun-daun ganja. Bagaimana mungkin sebuah inner city tidak dipenuhi oleh narkoba. Penggambaran inner city kota London ini sangat serupa dengan bagian pinggiran kota Paris yang biasa disebut suburb. Inner city atau suburb sangat melekat dengan citra narkoba dan merupakan tempat yang paling ampuh untuk mendapatkan mariyuana atau pun psikotropika lainnya, sekaligus tempat yang sangat tidak aman untuk memarkir mobil anda. Dalam Attack the Block, daun ganja berperanan penuh dalam menghadirkan karakter pendukung Ron, si pesuruh penanam ganja di rumah kaca penthouse rumah susun, Hi-Hatz, raja blok, dan Brewis. Si Zoologist junkie. Ketiga tokoh ini memberikan komedi segar di sela-sela adegan action film sebagai penggambaran realis sekaligus hiperbolis terhadap karakter-karakter klise ikonik terhadap sebuah inner city. Untuk ukuran Jakarta bisa dibilang mereka inilah karakter dualisme preman pasar seperti para tokoh di Maaf, Saya Menghamili Istri Anda (2007) ataupun Serigala Terakhir (2009).
Attack the Block memiliki plot yang mudah dicerna dan merupakan film yang tepat untuk menikmati sekotak pop corn. Cerita yang standar menjadi cerdas akibat humor yang ringan, dialog-dialog yang hip and casual, dan adegan yang menarik dalam sentuhan aransemen musik techno-punk. Musisi Steven Price bekerja sama dengan Basement Jaxx memberikan musik yang sangat pas untuk kehidupan marjinal remaja masa kini.
Setting Attack the Block berpusat di rumah susun. Salah seorang temanku juga baru-baru ini pindah ke sebuah rumah susun bersama adiknya setelah hampir setahun ngekos. Kehidupan rumah susun dengan ragam penghuninya memang merupakan ciri khas daerah perkotaan. Perbedaan antara rumah susun ibukota dengan blok di inner city London mungkin adalah makhluk yang menginvasinya. Jika blok London diserang oleh alien hitam, maka rumah susun Jakarta diserbu oleh pocong dan kuntilanak. Hmm, setelah Jenglot Pantai Selatan (2011) bukan tidak mungkin kita akan memiliki Serbuan Alien Perawan. Sebelum itu, tidak ada salahnya menikmati Attack the Block terlebih dahulu.
No comments:
Post a Comment